0

GANGGUAN MAKAN BULIMIA NERVOUSA

bulimia-e-anorexia-3Ketika seseorang memiliki ketakutan yang amat sangat pada kelebihan berat badan yang dapat mengganggu rasa percaya dirinya, maka orang tersebut akan mencari berbagai cara untuk menangani masalahnya tersebut. Apakah ada gangguan yang menangani masalah rasa takut akan berat badan yang berlebih tersebut? Gangguan tersebut dikatakan dengan gangguan makan. Gangguan makan dibagi menjadi dua, yaitu bulimia nervousa dan anoreksia nervousa. Kali ini kami akan bahas lebih lanjut mengenai bulimia nervousa, sebelum membahasnya kami akan memberikan contoh kasus mengenai Bulimia Nervousa.

 

Contoh Kasus

Lady Gaga Inez & Vinoodh

Kisah Lady Gaga Derita Bulimia

VIVAnews- Demi mempertahankan penampilan tubuh ideal, banyak selebritas memiliki masalah gangguan makan. Seperti yang dialami Demi Moore. Tapi ternyata, bukan hanya Moore yang mengalami masalah itu, penyanyi eksentrik Lady Gaga juga pernah menjadi penderita bulimia saat masih duduk di bangku SMA.

Secara terang-terangan, pelantun tembang ‘Alejandro’ ini mengungkapkan kisahnya saat menjadi penderita gangguan makan. Gaga mengaku, dulu ia selalu memuntahkan makanan yang masuk ke dalam perutnya demi mengharapkan perubahan tubuh menjadi langsing layaknya seorang ballerina. Gaga pun mengatakan, dulu ia tak suka dengan bentuk tubuhnya yang berisi.

Berbicara saat konfrensi ‘It’s Our Turn’ di Los Angeles 8 Februari lalu, Gaga berkata, “Dulu aku muntah sepanjang waktu di SMA. Jadi aku tidak percaya diri. Saya ingin menjadi balerina kecil yang kurus tapi saya adalah seorang gadis kecil Italia yang bahenol yang selalu disuguhi bakso di atas meja makan oleh ayahnya setiap malam”.

“Setiap aku aku pulang aku selalu berkata, ‘Ayah, mengapa kau selalu memberi kami makanan ini, saya harus menjadi kurus’. Ayah ku pun berkata, ‘Makan spaghetti mu’, kisah Gaga seperti dikutip laman  Female First. 

Bagi Gaga, bukan hal yang mudah mengungkapkan seluruh kisah hidupnya di masa lalu pada orang lain. Apalagi soal penderitanya mengalami bulimia.  “Ini sangat sulit, tetapi aku harus berbicara dengan seseorang tentang hal itu.” Gaga mengakui masalah gangguan makan yang dialaminya sempat merusak suaranya, karena itulah, ia akhirnya berhenti membuat dirinya sakit. “Itu membuat suara saya buruk, jadi saya harus berhenti”.

Penyanyi eksentrik ini juga mengaku, hingga saat ini ia masih khawatir tentang berat badannya. Tetapi, ia akan berusaha  mendesak para gadis muda untuk berhenti terobsesi menjadi kurus. “Saya memang masih harus berjuang mempertahankan berat tubuh ideal saya untuk sebuah video dan untuk  setiap cover majalah. Tapi ingat, ini bukan untuk kehidupan nyata. Aku akan mengatakan ini pada gadis-gadis. Perangi diet hanya untuk memiliki tubuh seperti model, karena pada akhirnya, itu bisa mempengaruhi anak-anak  usia muda.  Dan itu membuat para gadis sakit, ” imbaunya.

Apakah bulimia nervousa itu?

Bulimia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “lapar seperti sapi jantan”. Gangguan ini mencakup episode konsumsi sejumlah besar makanan secara cepat, diikuti dengan perilaku kompensatori, seperti muntah, puasa, atau olahraga berlebihan, untuk mencegah bertambahnya berat badan. DSM mendefinisikan makan berlebihan sebagai makan makanan dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu kurang dari dua jam. Terdapat satu perbedaan mencolok antara Bulimia Nervosa dengan Anoreksia Nervosa, yaitu adalah penurunan berat badan. Pasien yang menderita Anoreksia nervosa mengalami penurunan berat badan yang secara drastis, sedangkan pasien Bulimia nervosa tidak.

Pada Bulimia, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam, dapat dipicu oleh stress dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkannya, dan terus berlangsung hingga orang yang bersangkutan merasa sangat kekenyangan (Grilo, Shiffman, & Carter-Campbell, 1994). Para penderita bulimia nervosa menuturkan bahwa mereka hilang kendali ketika makan berlebihan, bahkan hingga ke titik mengalami sesuatu yang mirip dengan keadaan dissosiatif, mungkin kehilangan kesadaran terhadap apa yang mereka lakukan dan merasa bahwa bukan diri mereka yang makan berlebihan. Mereka biasanya malu dengan kondisi tersebut dan mencoba menutupinya.

Bulimia nervosa biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Sekitar 90 persen kasus terjadi pada perempuan, dan prevalensi pada perempuan diperkirakan sekitar 1 hingga 2 persen dari populasi. Banyak pasien Bulimia nervosa kelebihan berat badan sebelum gangguan tersebut, dan makan berlebihan sering kali dimulai saat menjalani diet. Bulimia nervosa dikaitkan dengan sejumlah diagnosis lain, terutama depresi, gangguan kepribadian terutama gangguan kepribadian borderline, gangguan anxietas, penyalahgunaan zat, dan gangguan tingkah laku. Dalam studi terhadap orang kembar ditemukan bahwa bulimia dan depresi berhubungan secara genetic (Walters dkk., 1992).

Setelah selesai makan berlebihan, rasa jijik, rasa tidak nyaman, dan takut bila berat badan bertambah memicu tahap kedua Bulimia nervosa, pengurasan untuk menghilangkan efek asupan kalori karena telah makan berlebihan. Paling sering penderita memasukkan jari-jari mereka ke tenggorokan agar tersedak dan muntah. Penyalahgunaan obat-obat pencahar dan diuretic serta berpuasa dan olahraga berlebihan juga dilakukan untuk mencegah penambahan berat badan.

Terdapat dua tipe bulimia nervosa, yaitu :

  1. Tipe Purging: Sengaja melakukan perbuatan mengeluarkan makanan atau sisa-sisa makanan, dengan cara merangsang muntah dan menggunakan obat pencahar.
  2. Tipe Non-purging: Dengan sengaja melakukan perbuatan berlebihan untuk mengkompensasi makanan yang berlebihan. Misalnya dengan olahraga mati-matian sampai pingsan, atau puasa sampai sakit maag atau pingsan. Dalam beberapa studi, orang-orang Bulimia dengan tipe non-purging memiliki berat badan lebih besar, lebih jarang makan berlebihan, dan menunjukkan lebih sedikit psikopatologi dibandingkan dengan orang-orang Bulimia tipe purging.

Karakteristik Diagnostic (DSM-IV-TR)

Orang dengan Bulimia Nervosa akan mengalami :

  • Makan berlebihan secara berulang,
  • Pengurasan berulang untuk mencegah bertambahnya berat badan,
  • Simtom-simtom terjadi sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama sekurang-kurangnya 3 bulan, dan
  • Penilaian diri sangat tergantung pada bentuk tubuh dan berat badan.

Karakteristik Diagnostic (DSM-V-TR)

  1. Peristiwa mengulang dari binge eating adalah karakteristik dari keduanya yaitu:
  2. Makan dalam waktu berbeda atau terpisah,
  3. Rasa kurang atau kontrol makan selama periode.
  4. Perilaku konpensasi yang berulang tidak tepat untuk mencegah kenaikan berat badan, seperti memaksakan diri untuk muntah; penyalahgunaan obat pencahar, obat yang mengeluarkan urin, atau obat-obatan yang lain; puasa; atau olahraga yang berlebih.
  5. Binge eating dan perilaku kompensasi yang tidak tepat keduanya terjadi, rata-rata, setidaknya sekali dalam seminggu selama 3 bulan.
  6. Evaluasi diri sendiri terlalu banyak dipengaruhi oleh bentuk tubuh dan berat badan.
  7. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama periode anorexia nervosa.

Diagnosis Banding

Sindroma Kluver-Bucy

Ciri patologis yang dimanifestasikan oleh sindroma Kluver-Bucy adalah agnosia visual, menjilat dan menggigit yang kompulsif, memeriksa objek dengan mulut, ketidakmampuan mengenali tiap stimulus, plasiditas, perubahan perilaku seksual (hiperseksualitas), dan perubahan kebiasaan makan, khususnya hiperfagia. Sindroma Kleine-Levin

Sindroma Kleine-Levin terdiri dari hipersomnia periodik yang berlangsung dua sampai tiga minggu atau hiperfagia.

Komplikasi :

  • Dehidrasi.
  • Ketidak seimbangan elektrolit yang menyebabkan aritmia dan mati mendadak.
  • Alkalosis metabolik.
  • Pembesaran kelenjar ludah.
  • Karies gigi.
  • Esofagitis.
  • Keluarnya cairan dari esopagus (esophageal tears) dan ruptura gastrik.

Etiologi yang menjadi pemicu terjadinya bulimia nervosa

  • Faktor Biologis

Genetik, bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga. Studi terhadap saudara kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan pengaruh genetik. Sebagian besar studi mengenai Bulimia dan Anoreksia menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi pada saudara kembar. Faktor-faktor genetik yang umum dapat berperan dalam hubungan antara karakteristik kepribadian tertentu, seperti emosionalitas negatif dan gangguan makan.

  • Faktor Keluarga

Gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga. beberapa terori berfokus pada efek brutal dari self awareness terhadap orang tua. Mereka mengatakan bahwa beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan ke terasingan yang mereka rasakan di rumah.

Sikap keluarga terhadap berat badan dan diet berperan penting, sikap ibu yang membatasi perilaku makan anak akan membuat anak merasa tidak kompeten untuk mengatur perilaku makannya sehingga gangguan makan lebih banyak terjadi pada keluarga dimana orangtua selalu mengkritik berat badan, bentuk tubuh dan kebiasaan makan anaknya.

Tanpa memperhatikan faktor yang memicu munculnya gangguan makan, dukungan sosial bisa menjadi salah satu faktor yang mempertahankan keberadaan gangguan makan. anak-anak dengan gangguan makan dapat secara cepat menjadi pusat perhatian pada keluarga mereka, dan menerima perhatian dari orang tua yang mungkin sebelumnya kurang.

  • Faktor Sosiokultural

Berbagai standar budaya mengenai bentuk tubuh ideal feminine yang berubah sepanjang waktu. Para perempuan yang memang benar-benar kelebihan berat badan atau hanya takut menjadi gemuk mungkin juga merasa tidak puas dengan tubuh mereka. Ketidak puasan akan bentuk tubuh tampaknya semakin meningkat dan merupakan predictor kuat perkembangan gangguan makan di kalangan remaja perempuan.

Selain itu, preokupasi, untuk menjadi kurus atau merasa ditekan untuk menjadi kurus memprediksi meningkatnya ketidak puasan dengan bentuk tubuh di kalangan remaja perempuan, yang pada akhirnya memprediksi diet yang lebih sering dan timbulnya berbagai emosi negatif. Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar sosiokultural kemungkinan merupakan sarana yang membuat orang-orang mempelajari rasa takut menjadi gemuk atau bahkan merasa gemuk. Selain menciptakan bentuk tubuh yang tidak diinginkan, menjadi gemuk memiliki berbagai konotasi negatif, seperti tidak suksesan dan kurang memiliki control diri.

Perempuan mungkin merasa malu dengan tubuh mereka bila melihat ke tidak cocokan antara standar ideal individu sedikit berbeda dari standar ideal diri mereka dan penilaian budaya (yang diobjektivikasi) tentang perempuan. Hal ini menunjukkan peng-objektivikasian diri sendiri dan rasa malu tentang bentuk tubuh terkait dengan gangguan makan.

  • Faktor Gender

Salah satu alasan utama mengapa gangguan makan lebih umum terjadi pada perempuan dibanding laki-laki adalah bahwa pada kaum perempuan standar budaya masyarakat Barat menguatkan keinginan untuk menjadi kurus dibanding laki-laki. Selain itu, nilai-nilai sosiokultural mendorong objektivikasi tubuh perempuan, sedangkan kaum laki-laki lebih dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan mereka. Resiko gangguan makan pada kelompok perempuan yang sangat peduli terhadap berat badan, misalnya, para model, penari, dan pesenam, sangat tinggi (Garner dkk., 1980).

  • Faktor Neuropsikologi

Gangguan Makan dan Otak. Opioid endogenus adalah zat yang diproduksi tubuh yang mengurangi sensasi sakit, meningkatkan mood, dan menekan selera makan, setidak-tidaknya pada mereka yang memiliki berat badan rendah. Opioid diproduksi dalam kondisi kelaparan dan dianggap berperan dalam anoreksia dan bulimia, namun dengan cara yang berbeda. Hardy dan Waller (1988) mengajukan hipotesis bahwa bulimia dimediasi oleh kadar opioid endogenus yang rendah, yang diperkirakan menimbulkan rasa lapar; suatu kondisi eforia kemudian dihasilkan oleh pencernaan makanan, sekaligus menguatkan kondisi makan berlebihan.

Beberapa data memperkuat teori bahwa opioid endogenus berperan dalam gangguan makan, paling tidak bulimia. Contohnya, Waller dkk. (1986) dan Brewerton dkk. (1992) menemukan kadar beta-endorfin opioid endogenus yang rendah pada pasien bulimia. Dalam studi yang dilakukan Waller juga diamati bahwa semakin parah kasus-kasus bulimia memiliki kadar beta-endorfin yang lebih rendah. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa berbagai temuan tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kadar opioid terjadi bersamaan dengan bulimia, tidak terlihat bahwa kadar rendah tersebut terjadi sebelum timbulnya gangguan tersebut. Perubahan asupan makanan dapat memengaruhi sistem opioid dan bukan sebaliknya. Dengan demikian, tidak jelas apakah sistem opioid terlibat dalam etiologi bulimia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Beberapa penelitian memfokuskan pada beberapa neurotransmitter yang berhubungan dengan makan dan rasa kenyang. Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa serotonin menyebabkan rasa kenyang. Dengan demikian, bisa saja bahwa makan berlebihan pada penderita bulimia dihasilkan dari kurangnya serotonin yang menyebabkan mereka tidak bisa mereka tidak bisa merasa kenyang pada saat makan. Dari berbagai studi lain ditemukan bukti-bukti meningkatnya metabolit serotonin di dalam plasma atau cairan serebrospinal (CSF- cerebrospinal fluid) pada pasien anoreksia (Kaye dkk., 1991) sehingga peran serotonin dalam anoreksia tidak sepenuhnya jelas. Terkait bulimia, bukti-bukti yang ada tampaknya lebih konsisten, dimana sebagian besar temuan menunjukkan turunnya kadar metabolit serotonin (a.l., Carrasco dkk., 2000; Jimerson dkk., 1992; Kaye dkk., 1998). Penederita bulimia juga menunjukkan respon yang lebih kecil terhadap agonis serotonin (Jimerson dkk., 1997; Levitan dkk., 1997). Bila pada pasien yang telah sembuh dari bulimia nervosa kadar serotoninya menurun, mereka menunjukkan peningkatan kognisi terkait gangguan makan, seperti merasa gemuk (Smith, Fairburn, & Cowan, 1999).

Data lain mendukung pemikiran bahwa kurangnya serotonin dapat terkait dengan anoreksia dan bulimia. Obat-obat antidepresan yang sering kali merupakan penanganan afektif bagi anoreksia dan bulimia diketahui meningkatkan kadar serotonin sehingga memperbesar kemungkinan pentingnya serotonin. Serotonin dapat terkait dengan depresi komorbid yang sering kali terdapat pada anoreksia dan bulimia dan dengan perilaku impulsif pasien yang menderita bulimia nervosa.

Pandangan teori-teori psikologi mengenai Bulimia Nerovosa

  • Pandangan Psikodinamika

Terdapat banyak teori psikodinamika mengenai gangguan makan, namun sebagian besar berpendapat bahwa penyebab utamanya terdapat dalam hubungan orang tua-anak yang terganggu dan sepekat bahwa beberapa karakteristik kepribadian penting, seperti harga diri yang rendah dan perfeksionisme, ditemukan pada individu yang memiliki gangguan makan. Berbagai teori psikodinamika juga menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan makan menjadi suatu pemenuhan bagi keberhasilan mempertahankan diet ketat atau tidak tumbuh secara seksual dengan menjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai tubuh seorang perempuan pada umumnya (Goodsitt, 1997).

Teori psikodinamika lain, menyatakan bahwa Bulimia nervosa pada perempuan berakar dari kegagalan untuk mengembangkan kesadaran diri yang kuat karena hubungan ibu-anak yang dipenuhi konflik. Makanan menjadi symbol kegagalan hubungan tersebut. Makan berlebihan dan pengurasan yang dilakukan si anak mencerminkan konflik antara kebutuhan akan ibu dan keinginan untuk menolak ibu.

  • Pandangan Kognitif-Perilaku

Para penderita Bulimia nervosa dianggap memiliki kekhawatiran berlebihan dengan penambahan berat badan dan penampilan tubuh. Pasien Bulimia nervosa memang menilai diri mereka terutama berdasarkan berat badan dan bentuk tubuh mereka. Mereka juga memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan karena berat badan serta bentuk tubuh cukup lebih mudah dikendalikan dibanding aspek diri yang lain, mereka cenderung memfokuskan pada berat badan dan bentuk tubuh, dan berharap bahwa usaha mereka dalam bidang ini akan membuat mereka secara umum merasa lebih baik.

Mereka mencoba mengikuti pola makan terbatas yang sangat kaku, dengan aturan ketat mengenai jumlah asupan makanan, jenis makanan yang dimakan dan kapan harus makan. Aturan ketat tersebut pada akhirnya dilanggar, dan pelanggaran tersebut meningkat menjadi makan berlebihan. Setelah makan berlebihan, timbul perasaan jijik dan rasa takut menjadi gemuk, sehingga memicu tindakan kompensatori seperti muntah. Meskipun pengurasan untuk sementara mengurangi kecemasan karena telah makan berlebihan, yang memicu makan berlebihan dan pengurasan yang semakin sering, suatu siklus yang mempertahankan berat badan yang dikehendaki, namun mengandung berbagai konsekuensi medis. Ditemukan beberapa kondisi lain yang semakin meningkatkan banyaknya asupan makanan pada orang-orang yang melakukan pembatasan makanan setelah asupan awal, yang perlu dicatat adalah beragam mood negatif, seperti kecemasan dan depresi.

Meningkatnya konsumsi makanan pada orang-orang yang membatasi asupan makanannya terutama terjadi ketika citra diri mereka terancam dan jika mereka memiliki harga diri rendah. Apabila orang-orang yang membatasi asupan makanannya mendapatkan umpan balik yang salah bahwa mereka memiliki berat badan tinggi, mereka merespons dengan peningkatan emosi negatif dan peningkatan konsumsi makanan.

Penderita Bulimia nervosa umumnya makan berlebihan bila menghadapi stres dan mengalami afek negatif. Sehingga makan berlebihan berfungsi sebagai alat mengendalikan afek negatif. Pasien Bulimia mengatakan meningkatnya kadar kecemasan mereka ketika mereka makan, namun tidak dapat melakukan pengurasan dan penuturan diri tersebut telah divalidasi melalui pengukuran fisiologis, seperti konduktans kulit. Secara sama, kadar kecemasan menurun setelah pengurasan, sekali lagi memperkuat pemikiran bahwa pengurasan diperkuat oleh berkurangnya kecemasan.

Pencegahan yang dapat dilakukan

  • Pencegahan primer

Ditujukan pada populasi yang berisiko tinggi seperti murid SMP perempuan untuk mencegah timbulnya gangguan makan pada mereka yang asimtomatik. Sejumlah program pendidikan dapat dicoba berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan dapat mengubah sikap dan perilaku, program tersebut ditekankan pada pemahaman tentang citra diri.

  • Pencegahan sekunder

Bertujuan untuk deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan pendidikan pada petugas kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer. Dengan intervensi dini morbiditas dapat diturunkan.

Penanganan-penanganan untuk Bulimia Nervosa

  • Penanganan Biologis

Karena Bulimia nervosa sering kali komorbid dengan depresi, ganguan ini ditangani dengan berbagai antidepresan. Minat difokuskan pada fluoksetin. Perempuan dengan Bulimia ditangani sebagai pasien rawat jalan selama delapan minggu. Fluoksetin ternyata lebih memberikan hasil dibandingkan placebo untuk mengurangi makan berlebihan dan muntah, juga mengurangi depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan makan. Dalam sebagian besar studi termasuk studi double-blind dengan kelompok control placebo, mengkonfirmasi kemampuan berbagai macam antidepresan untuk mengurangi pengurasan dan makan berlebihan, bahkan di kalangan pasien yang tidak mengalami perbaikan dalam penanganan psikologis yang diberikan sebelumnya.

Dari segi negatifnya, jauh lebih banyak pasien yang tidak tuntas menjalani penanganan dengan obat-obatan dalam berbagai studi tentang bulimia dibanding yang tidak tuntas menjalani jenis penanganan kognitif-perilaku. Dalam studi multisentral tentang fluoksetin, hampir sepertiga pasien berhenti sebelum akhir masa penanganan yang berlangsung selama delapan minggu, teruatama disebabkan efek samping obat-obatan yang diberikan. Bandingkan dengan angka kurang dari lima persen pasien yang berhenti dari lima persen pasien yang berhenti dari terapi kognitif-behavioral. Terlebih lagi, sebagian besar pasien kambuh ketika pemberian berbagai jenis obat antidepresan dihentikan, seperti yang terjadi dengan sebagian besar obat-obatan psikoaktif. Terdapat beberapa kecenderungan untuk kambuh tersebut berkurang bila antidepresan diberikan dalam konteks terapi kognitif-behavioral.

  • Penanganan Psikologis Bulimia Nervosa

Psikoterapi Kognitif-Behavioral Therapy (CBT) harus dianggap sebagai, patokan lini pertama pengobatan untuk bulimia nervosa. Data pendukung efektivitas CBT didasarkan pada kepatuhan yang ketat dan harus betul-betul dilaksanakan dengan sangat rinci, petunjuk-dipandu perawatan yang mencakup sekitar 18 sampai 20 sesi selama 5 sampai 6 bulan. CBTmenerapkan sejumlah prosedur kognitif dan perilaku untuk (1) mengganggu siklus mempertahankan diri perilaku makan berlebihan dan diet dan (2) mengubah kognisidisi fungsional individu, yaitu keyakinan tentang makanan, berat badan, citra tubuh, dan keseluruhan konsep diri.

Dynamic Psikoterapi (Pengobatan psikodinamik) pasien dengan bulimia nervosa telah mengungkapkan kecenderungan untuk mengkonkretkan mekanisme pertahanan introjective dan proyektif.Dengan cara yang analog dengan membelah, pasien membagi makanan ke dalam dua kategori: item yang bergizi dan mereka yang tidak sehat. Makanan yang ditunjuk bergizi dapat dicerna dan dipertahankan karena secara tidak sadar melambangkan introjects baik. Tapi junk food secara tidak sadar berhubungan dengan introjects buruk dan oleh karena itu, dikeluarkan melalui muntah, dengan sadar bahwa semua fantasi merusak, kebencian, dan kejahatan sedang dievakuasi. Pasien sementara dapat merasa nyaman setelah muntah karena evakuasi fantasi, tapi perasaan yang terkait menjadi baik adalah singkat karena didasarkan pada kombinasi tidak stabil.

Terapi keluarga juga dapat dilakukan yaitu dengan memperbaiki pola-pola interaksi untuk memutus pola enmeshment dan rigidity, dan membuat anak perempuannya mengubah kebiasaan makannya.

DAFTAR PUSTAKA

Davidson, Gerrald C, dkk. (2006). Psikologi Abnormal, Edisi 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nevid, Jeffrey S, dkk. (1997). Abnormal Psychology in a Changing world, fifth edition. New Jersey: Rentice Hall.

Halgin, Ricahard P, dkk. (2010). Abnormal Psychology Clinical Perspectives on Psychology disorders, New York: Mc. Graw Hill.

http://www.viva.co.id/showbiz/287076-kisah-lady-gaga-derita-bulimia